Sejarah, Hukum dan Keutamaan Shalat Tarawih
AtjehLINK -
Shalat Tarawih adalah suatu ibadah Sunnah yang paling diburu oleh umat
Muslim dikala bulan Ramadhan tiba, karena Shalat tarawih ini hanya
terdapat pada bulan Ramadhan, bulan yang dianggap suci bagi seluruh umat
Muslim di seluruh dunia.
Untuk berbagi tentang sejarah dan
keutamaan Shalat tarawih ini, berikut kami sajikan tentang sejarah,
hukum dan keutamaan Shalat Tarawih ini, semoga bermanfaat bagi kita
semua, (Sabtu, 28/7).
Sejarah Shalat Tarawih
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhu, beliau menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu
beliau berwitir.
Pada malam berikutnya, kami pun
berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus
menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami
menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami
menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku
khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari [2012] dalam kitab Shalatut Tarawih dan
Muslim [761] dalam kitab Shalatul Musafirin. Syaikh Al-Albani mengatakan
bahwa derajat hadits ini hasan).
Dari Abu Salamah bin Abdirrahman
radhiyallahu ‘anhu, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah
raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat
lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Al-Bukhari [1147] dan Muslim
[738]).
Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkata, “Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari
adalah 13 raka’at.” (HR. Al-Bukhari [1138] dan Muslim [764]).
Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat
malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11
raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang
dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka
melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibn Hajar
dalam Fathul Bari [4/123].
Ibn Hajar al-Haitsamiy mengatakan,
“Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Tarawih 20 raka’at.
Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
melaksanakan shalat (Tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang
sangat-sangat lemah.” (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Quwaitiyyah
[2/9635]).
Ketika Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘anhu menjabat khalifah, beliau melihat manusia shalat di masjid pada
malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian dan
ada pula yang shalat secara berjama’ah. Kemudian beliau mengumpulkan
manusia dalam satu jama’ah dan dipilihlah Ubay bin Ka’ab radhiyallahu
‘anhu sebagai imam. (Lihat Shahih Al-Bukhari pada kitab Shalat Tarawih).
Al-Kasaani rahimahullahu mengatakan,
“Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyamu Ramadhan lalu
diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Lalu shalat tersebut
dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya
sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
(Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah [2/9636]).
Ibn At-Tin rahimahullahu dan lainnya
berkata, “Umar menetapkan hukum itu dari pengakuan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam terhadap orang yang shalat bersama beliau pada
malam-malam tersebut, walaupun beliau tidak senang hal itu bagi mereka,
karena tidak senangnya itu lantaran khawatir menjadi kewajiban bagi
mereka. Tetapi setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, maka
dinilai aman dari rasa khawatir tersebut dan hal itu menjadi pegangan
bagi Umar, karena perbedaan dan menimbulkan perpecahan umat, dan karena
persatuan akan lebih mempergiat banyak para umat yang menjalankan
shalat.”
Mengenai penamaan Tarawih (istirahat),
karena para jama’ah yang pertama kali berkumpul untuk qiyamu Ramadhan
ber-istirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2
raka’at ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 raka’at lagi lalu
ditutup dengan salam). (Lisanul Arab [2/462] dan Fathul Bari [4/294]).
Hukum Shalat Tarawih
Menurut Imam An-Nawawi rahimahullahu,
yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat Tarawih dan ulama
telah bersepakat bahwa shalat Tarawih hukumnya mustahab (sunnah). (Syarh
Shahih Muslim [6/282]). Dan beliau menyatakan pula tentang kesepakatan
para ulama tentang sunnahnya hukum shalat Tarawih ini dalam Syarh Shahih
Muslim [5/140] dan Al-Majmu’ [3/526].
Al-Hafizh Ibn Hajar rahimahullahu
memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu
Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat Tarawih dan bukanlah
yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan
melaksanakan shalat Tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).”
(Fathul Bari [4/295]).
Bahkan menurut ulama Hanafiyah,
Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat Tarawih adalah sunnah
mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan
perempuan.
Keutamaan Shalat Tarawih
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
melakukan qiyamu Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka
dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (Diriwayatkan Al-Bukhari
[1901] dalam kitab Ash-Shaum dan Muslim [760] dalam kitab Shalatul
Musafirin).
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga
dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda, “Siapa yang shalat (malam)
bersama imam hingga ia selesai, maka ditulis untuknya pahala
melaksanakan shalat satu malam penuh.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud
[1375] dalam kitab Ash-Shalah; At-Tirmidzi [806] dalam kitab Ash-Shiam;
An-Nasa’i [1605] dalam kitab Qiyamul Lail; dan Ibn Majah [1327] dalam
kitab Iqamatush Shalah. At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih).
Berkenaan dengan hadits di atas, Imam
Ibn Qudamah rahimahullahu mengatakan, “Dan hadits ini adalah khusus pada
qiyamu Ramadhan (Tarawih).” (Al-Mughni [2/606]).